“ Bagaimana hidupmu kini?”
Gadis berwajah menyenangkan
itu tersenyum. Ah, aku sangat familiar dengan ruangan ini. Sudah berapa lama ya
sejak hari itu? Kutelusuri setiap
sudut ruangan ini, masih sama seperti dulu, bahkan samar masih terasa aroma
mawar, kesukaanku. Kulihat lagi gadis
itu, masih dengan tatapan yang sama pula. Hangat. Seakan tidak ada apapun yang
terjadi, walau sebenarnya ia mengetahui
semua. Aku mematung tidak tahu harus memulai dengan kalimat apa, sementara ia
masih berdiri disana dengan sabar di seberang seakan menunggu.
“ Baik..” aku berbohong.
“ Tidak baik” sambungnya
pelan. Nah, aku memang tidak bisa berbohong dengannya. “ Sudah seberapa jauh? “
tanyanya lagi, kini rautnya tampak sedih. Aku tercekat, sulit untuk menjawab. Kupalingkan
wajah, sejenak sekelebat memori terputar bak sebuah film. “jauh, mungkin”
sahutku tak kalah pelannya. Ia menarik nafas panjang, sudah menduga apa yang
terjadi. Aku diam, pasrah. Nasi sudah menjadi bubur, tak mungkin mengulang
waktu. Kutatap wajahnya, ingin sekali menembus dinding transparan yang
membatasi jarak antara kami. Kemudian menghela nafas lirih “ Pulanglah,
kembalilah menjadi dandelion”. Kugigit bibir, gemetar. Masihkah dapat kembali?
Masihkah diterima? Akankah kembali sama seperti dulu? Benakku dipenuhi
pertanyaan-pertanyaan, Hawa dingin menyeruak masuk, membawa gigil yang tak
terperi. Aku tahu, gelap itu datang membawa ilusinya lagi. Kupejamkan mata, coba
untuk tidak hanyut dalam kesalahan yang sama.
“Pulanglah.. “ gadis itu
berkata lagi “ belum terlambat, sebelum waktu benar-benar meninggalkan kita” Perlahan
gadis itu memudar, menghilang dibalik kabut dan tinggal aku sendiri di ruangan yang kini hampa.
Pandanganku kabur, kemudian gelap.
Bumi Siliwangi, 04072017