Antara Budaya Antri dan Pelayanan Publik

Monday, 1 September 2014


terbit: September 2013, Atjehlink

Senin(24/2) adalah tanggal dimana mahasiswa dari 2 prodi (Bahasa Inggris dan Matematika) di STAIN Malikussaleh Lhokseumawe membayar biaya SPP mereka di salah satu bank daerah di kota Lhokseumawe. Para mahasiswa baik putra maupun putri saling berdesak-desakan untuk sampai di loket pembayaran, jika pada hari biasa jaraknya dapat dicapai dalam beberapa langkah dari gerbang masuk bank tersebut,namun hari itu bahkan
sampai 2 jam belum tentu dapat berdiri di depan loket yang terletak di bagian belakang bank.
            Seorang penjaga loket yang merupakan salah satu anggota kepolisian sudah beberapa kali mengingatkan para mahasiswa untuk mengantri, namun seruan itu hanya bertahan beberapa menit kemudian kembali menjadi lautan mahasiswa yang penuh sesak. Dalam suasana hari yang terik, mungkin menjadi salah satu faktor ketidaksabaran para mahasiswa.  Beberapa mahasiswa putri mengeluh mengenai amburadulnya antrian dan lamanya proses pembayaran SPP.
            Ternyata alasan mengapa lambatnya proses pembayaran adalah karena jumlah petugas tidak sesuai dengan banyaknya mahasiswa yang membayar SPP, yang bertugas hanyalah 3 orang di pihak bank dan seorang penjaga dari pihak kepolisian. Kemudian petugas meminta agar yang membayar SPP diwakili oleh salah seorang mahasiswa dengan seorang mahasiswa mewakili 9 temannya, strategi ini tidak begitu berhasil karena meskipun para mahasiswa sudah diwakili oleh teman-temannya, namun untuk pengembalian slip pembayaran SPP beberapa ada yang tidak ingin diwakili. Akhirnya petugas memutuskan untuk mengembalikan slip SPP di bagian depan bank, sehingga para mahasiswa yang menunggu pengembalian slip SPP tidak perlu berdesakan dengan mahasiswa yang akan membayar SPP. Strategi ini berhasil dan dapat ditangani dengan cukup baik oleh petugas loket.
Budaya Antri
            Antri adalah proses menunggu giliran dalam suatu hal agar berjalan tertib, lancar dan nyaman. Ada banyak kasus yang memprihatinkan seputar budaya antri masyarakat Indonesia, mulai dari masalah saat  pembagian sembako, pembagian zakat, dan lainnya. Jika yang terjadi sebaliknya, malah akan menjadi amburadul, hanya yang punya kuasa, yang lebih kuat, dan orang yang tidak tahu malu yang memaksa berada di barisan paling depan meskipun ia datang paling terakhir.
            Meskipun sudah dibuat pagar pembatas, hal ini juga tidak berpengaruh dalam memperbaiki buruknya antrian di masyarakat. Tetap saja ada orang yang menyerobot atau melewati pagar pembatas karena tidak sabar menunggu gilirannya. Hal yang cukup memalukan bagi bangsa Indonesia, karena budaya antri adalah salah satu cerminan bangsa di dunia Internasional. Bandingkan saja dengan negara Jepang dan negara tetangga lainnya, mereka tidak segan untuk tetap mengantri walaupun di depan mereka hanya seorang anak kecil. Bagi mereka, menyerobot antrian adalah hal yang paling tidak sopan dan tidak layak untuk dilakukan.
            Menanamkan budaya antri memang tidak instan, perlu adanya sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat tentang budaya antri. Dari sejak Taman Kanak-kanak pun sudah ditanamkan budaya antri, seperti berbaris sebelum memasuki kelas, dan mengantri sewaktu mengambil minuman dan makanan dalam suatu acara. Tampaknya, orang dewasa di Indonesia masih ada yang tetap keras kepala dan tidak mau mengantri . Lihat saja bagaimana keadaan lalu lintas, banyak pengendara yang menyerobot kendaraan lain agar bisa lebih dahulu tiba dibanding tertib demi keselamatan diri sendiri. Tak jarang juga terjadi perselisihan dan bahkan kecelakaan karena perilaku saling menyerobot dalam berkendara.

Pelayanan Publik yang Kurang
            Dalam kasus diatas, yang menjadi permasalahan adalah kurangnya pegawai yang melayani para mahasiswa yang berasal dari 2 prodi serta dari berbagai semester. Akibatnya banyak waktu yang terbuang percuma dalam menunggu proses pembayaran SPP, disamping itu kurangnya informasi juga membuat mahasiswa bingung dimana mereka harus mengantri untuk prodi yang berbeda. Namun disamping itu, petugas loket juga dinilai baik dalam melayani para mahasiswa yang terkadang kurang sabar dan terus memaksa dalam antrian serta terus melakukan perbaikan dan menghasilkan peningkatan yang memuaskan dalam pelayanan pembayaran SPP.
Pelayanan publik sendiri merupakan usaha pemerintah dalam melayani dan mempermudah masyarakat dalam menyelesaikan berbagai urusan di dalam suatu pemerintahan. Hak masyarakat adalah mendapatkan pelayanan yang maksimal disamping harus memenuhi kewajiban untuk mendapatkan pelayanan yang maksimal.  Permasalahan layanan publik pada dasarnya adalah mengenai pelayanan yang kurang memadai, ketidak jelasan informasi, pelaksanaan yang belum maksimal, dan kurangnya dukungan sumber daya manusia yang profesional. Hal ini menyebabkan citra pelayanan publik dinilai buruk di mata masyarakat.
            Terkadang juga terdapat beberapa kecurangan oleh oknum pemerintah yang tidak bertanggung jawab di tempat yang lain, seperti pada pembuatan kartu untuk penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) beberapa waktu yang lalu. Pelayanan yang seharusnya gratis malah dikenakan biaya sebagai kedok untuk mengganti biaya adminstrasi, hal ini tentu sangat mengecewakan terlebih pada masyarakat yang kurang mampu dalam memperoleh pelayanan publik yang harusnya diterima secara cuma-cuma. Padahal oknum-oknum itu sudah menerima gaji sesuai pekerjaan mereka, namun tetap saja berlaku tidak jujur dan memanfaatkan kesempatan untuk menambah isi kantung mereka.
            Oleh karena itu, diperlukan pengawasan yang ketat untuk menghindari perbuatan oknum yang merugikan masyarakat. Pengawasan ini juga harus dengan cara partisipatif, yaitu masyarakat juga ikut mengawasi bagaimana pelayanan yang diterima dan bagaimana pelaksanaannya.  Dengan pengawasan dan pelayanan yang baik maka akan mempermudah proses masyarakat dalam memenuhi kebutuhan di lembaga pemerintah serta terciptanya kondisi pelayanan yang memuaskan, disamping dengan sikap masyarakat yang tertib dalam antrian demi kebaikan semua pihak.
             
           
            Firza Rizky Utami, siswa dari Sekolah Demokrasi Aceh Utara (SDAU) Angkatan IV tahun 2014; mahasiswa STAIN Malikussaleh Lhokseumawe

0 comments: